Benarkah Anjing Najis?

anjing

Oleh : Luthfi Wildani*

Mungkin selama ini, asumsi yang beredar dan berkembang di kalangan umat Islam yaitu meyakini bahwa anjing itu najis secara absolut (mutlak) layaknya kenajisan babi, baik air liurnya, mulutnya, badannya, bulunya dan semua yang ada di tubuh anjing. Tidak ada toleransi sama sekali untuk menyentuhnya, apalagi memeliharanya. Dan mereka menganggap bahwa semua ulama sudah sepakat dengan kenajisan anjing yang masuk dalam kategori najis mughallazhah (berat). Padahal, secara faktual ulama 4 mazhab berbeda pendapat mengenai kenajisan anjing selain air liurnya, karena para ulama sepakat bahwa air liur anjing merupakan najis yang tergolong berat.

Sampai disini mungkin ada sedikit gambaran bahwa ternyata asumsi yang mengatakan bahwa anjing itu najis secara mutlak dan tidak ada khilafiyah didalamnya terbantahkan oleh aqwal para ulama yang berpendapat bahwa selain air liurnya adalah suci. Berikut penulis akan paparkan perbedaan pendapat dari para ulama 4 mazhab mengenai kenajisan anjing.

  1. Mazhab al-Hanafiyah

Umumnya, para ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa badan anjing yang masih hidup bukan merupakan najis ‘ain (dzat). Yang masuk dalam kategori najis hanyalah air liur, mulut dan kotorannya saja. Selain itu hukumnya adalah suci.

  • al-Kasani (w. 587 H) dalam kitabnya Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ menjelaskan sebagai berikut :

وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ

“Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu bukanlah najis ‘ain (dzat), maka mereka menjadikannya seperti seluruh hewan-hewan lainnya kecuali babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.” [1]

  • Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitabnya Radd al-Muhtar ala al-Dur al-Mukhtar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah Ibnu Abdin menjelaskan sebagai berikut :

(قَوْلُهُ لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَاب

“Anjing bukanlah termasuk najis ‘ain (dzat), tetapi kenajisannya itu disebabkan kenajisan daging dan darahnya, dan hukumnya belum menjadi najis ketika dia masih hidup selama masih dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Maka hukum anjing seperti hukum hewan-hewan yang lainnya, (dan itulah fatwanya). Itulah yang shahih dan lebih dekat kepada kebenaran.” [2]

  1. Mazhab al-Malikiyah

Dalam mazhab Malikiyah, para ulama umumnya juga berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup tidaklah najis, kecuali hanya air liurnya saja. Maka konsekuensi logisnya, bila air liur anjing jatuh ke dalam wadah atau bejana air, wajib dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah. Dan cara pensucian seperti ini bersifat ta’abbudi. Jadi, apapun yang ada dan menempel di tubuh anjing adalah suci, baik itu dagingnya, kotorannya, keringatnya, bulunya dan lain sebagainya.

  • Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kafi fi Fiqhi Ahl al-Madinah menjelaskan sebagai berikut :

ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر

“Dan pendapat Imam Malik mengenai anjing adalah bahwasanya anjing itu suci.” [3]

  • al-Hathab al-Ru’aini (w. 954 H) dalam kitabnya Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil menjelaskan sebagai berikut :

أَنَّ الْغَسْلَ الْمَذْكُورَ تَعَبُّدٌ وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ الْمَذْهَبِ لِطَهَارَةِ الْكَلْبِ

“Bahwasanya cara pensucian yang telah disebutkan adalah bersifat ta’abbudi. Dan pendapat inilah yang masyhur dalam mazhab karena kesucian anjing.” [4]

  1. Mazhab al-Syafi’iyah

Dalam mazhab Syafi’iyah, para ulama sepakat bahwasanya seluruh tubuh anjing dari ujung kaki sampai ujung kepala hukumnya najis mughallazhah. Dan kenajisan ini tidak membedakan anjing dari jenis apapun dan manapun, semuanya najis tanpa terkecuali.

  • Imam Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan sebagai berikut :

مَذْهَبُنَا أَنَّ الْكِلَابَ كُلَّهَا نَجِسَةٌ الْمُعَلَّمُ وَغَيْرُهُ الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ

”Dalam mazhab kami, bahwasanya semua jenis anjing adalah najis, baik yang terlatih atau tidak, dan yang kecil maupun yang besar.” [5]

  • Imam al-Syirbini (w. 977 H) dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj menjelaskan sebagai berikut :

أَنَّ الْكَلْبَ نَجِسٌ

“Bahwasanya anjing merupakan najis.” [6]

  1. Mazhab al-Hanabilah

Dalam mazhab Hanabilah, umumnya para ulama mempunyai pendapat yang inheren dan sama persis seratus persen dengan pendapat para ulama dari mazhab Syafi’iyah. Yaitu bahwasanya tubuh anjing dari ujung kepala sampai ujung kaki hukumnya najis mughallazhah.

  • Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan sebagai berikut :

الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا، أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا، فَهَذَا نَجِسٌ، عَيْنُهُ، وَسُؤْرُهُ، وَجَمِيعُ مَا خَرَجَ مِنْهُ

“Anjing, babi dan apa yang lahir dari hasil perkawinan keduanya atau salah satu dari keduanya, maka hukumnya najis, baik ‘ainnya (dzatnya), bekas (jilatannya) dan semua yang keluar dari tubuhnya.” [7]

  • al-Mardawi (w. 885 H) dalam kitabnya al-Inshaf fi Ma’rifah al-Rajih min al-Khilaf menjelaskan sebagai berikut :

وَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ: أَنَّهُمَا وَالْمُتَوَلِّدُ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا وَجَمِيعِ أَجْزَائِهِمَا: نَجِس

“Yang shahih dalam mazhab bahwasanya keduanya (babi dan anjing) dan apa yang lahir dari hasil perkawinan keduanya atau salah satu dari keduanya dan semua bagian tubuh keduanya adalah najis.” [8]

Kesimpulan

Dalam permasalahan hukum kenajisan anjing ini, dari sekian banyak ulama dari 4 mazhab, semuanya mengerucut kepada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu dari mazhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah mengatakan bahwa tubuh anjing itu suci selama masih hidup. Sedangkan pendapat yang kedua yaitu dari mazhab al-Syafi’iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing dan apapun yang keluar darinya adalah najis.

Sudah menjadi sebuah kewajaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab. Dan itu sah-sah saja. Kita yang statusnya hanya sebagai muqallid dan belum mempunyai alat yang memadai untuk berijtihad, tinggal memilih dan mengikuti saja pendapat para ulama mujtahid yang sudah susah payah meng-istimbath hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu a’lam

*Direktur LDMI HMI Cabang Jakarta Selatan

Referensi :

[1] al-Kasani, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, jilid 1 hal. 63

[2] Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ala al-Dur al-Mukhtar, jilid 1 hal. 208

[3] Ibnu Abdil Barr, al-Kafi fi Fiqhi Ahl al-Madinah, jilid 1 hal. 161

[4] al-Hathab al-Ru’aini, Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 177

[5] Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 2 hal. 567

[6] Imam al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, jilid 1 hal. 227

[7] Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 1 hal. 35

[8] al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah al-Rajih min al-Khilaf, jilid 1 hal. 310

 

Leave a comment